”Manusia tidak mungkin kesandung batu sebesar gunung. Paling hanya sebesar batu kerikil”.
Ada seorang pendekar, dia merasa ilmunya sudah cukup. Saatnya dia turun gunung. Untuk itulah dia pun menghadap sang guru. “ Guru, kiranya ilmu yang sudah guru ajarkan sudah hamba serap semuanya dengan baik. Ijinkan hamba turun gunung untuk mengabdikan ilmu hamba kepada masyarakat.” Sang Guru dengan jenggotnya yang tebal. Hanya tersenyum. Dia pun hanya bergumam saja. Sang pendekarpun binggung melihat perilaku gurunya. “ Guru, ijinkan hambamu ini turun gunung?”. Kata sang pendekar sekali lagi. Gurunya pun kembali bergumam. Secara perlahan gurunya pun berdiri. “Anakku, memang benar semua ilmu sudah aku turunkan samamu. Tapi sebelum engkau turun gunung. Pergilah ke tepian sungai.” Gurunya pun menunjuk kearah sungai tersebut.” Menyeberanglah dari tepi sungai itu ke ujung tepian yang di seberang. Tapi aku tidak ingin kamu berenang. Tapi melompatlah dengan menggunakan tiga batu yang sudah ada di sungai tersebut”. Sang pendekar pun dengan riang gembira menuju ke tepian sungai tersebut.
Ketika sampai di tepian sungai. Dia pun mencoba melihat batu-batu yang ada di sungai tersebut. Aha, tak lama diapun melihat batu besar. Tak lama kemudian dia pun melompat. Dan dengan mudah bisa berdiri di batu tersebut. Kembali dia mencari batu kedua. Dengan hati-hati dia pun melihat di sekelilingnya. Tapi batu keduapun belum bisa dengan jelas terlihat. Sekali lagi dia mencoba. Dan dari kejauhan. Dia melihat sebuah batu yang ukuran tidak terlampau besar. Sambil memfokuskan kekuatannya. Dia pun kembali melompat ke atas batu tersebut. Tapi ketika dia mau berdiri ternyata batu tersebut sangat licin. Byurrr….Dia pun jatuh ke sungai. Ternyata batu tersebut pijakan sangat kecil. Tidak cukup dua kaki. Hanya cukup satu kaki saja. Lalu dia pun mencoba lagi. Lebih fokus dan lebih relaks. Akhirnya dia bisa berdiri dengan satu kaki di batu kedua tersebut.
Tinggal satu ujian lagi, pikirnya. Dia pun kembali mencari batu ketiga. Setelah cukup lama. Dari kejauhan dia melihat sebuah sinar. Ternyata itulah batu terakhir yang dia cari. Dia pun kemudian melipat gandakan kekuatannya. Dia pun kembali melompat dengan kecepatan tinggi. Tapi sekali lagi dia terkejut. Ternyata ukuran batu itu sangat kecil sekali. Tidak cukup untuk satu kaki saja. Kembali byurrr…. dia harus jatuh ke sungai. Dia pun mencoba lagi. Byurr….jatuh ke sungai lagi. Arus sungai pun semakin deras. Dengan susah payah. Dia kembali lebih fokus. Dia pun melompat. Dan pada saat di udara dia pun membalikkan badannya. Ternyata si pendekar berhasil berdiri di atas batu terakhir. Dengan menggunakan satu tangannya. Kakinya diatas. Setelah itu dia pun kembali melompat. Karena tepi sungai pun sudah dekat. Akhirnya dia berhasil sampai di darat.
Ketika dia sampai di ujung tepi sungai. Gurunya pun sudah ada di hadapannya. ”Anakku, engkau sudah melewati uji kehidupan. Batu pertama melambangkan kesulitan yang akan engkau hadapi. Batu kedua melambangkan kesetiaan. Disinilah ujuanmu mulai sulit. Kamu dituntut untuk setia sama dirimu sendiri. Termasuk sama gurumu sendiri. Atau kamu mengkhianati aku. Disinilah letak ujianmu sebenarnya. Batu terakhir melambangkan bersyukur. Ketika kamu sudah melewati dua ujian di batu sebelumnya. Kamu sudah berhasil. Tapi apakah kamu menjadi sombong? Atau menjadi orang yang rendah hati. Selalu bersyukur kepada Pencipta. Inilah ujian terkahirmu. Bila semua kau laluin dengan baik. Maka kamu akan menjadi manusia yang sempurna.”
Ketika mengakhirinya wejangannya. Sang guru pun mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Ketika dibuka isinya adalah tiga buah batu. Satu batu ukuran besar, yang kedua ukuran sedang dan panjang. Batu terakhir ukurang kecil dan tipis. Ya, itulah batu ujian sang pendekar ketika dia turun gunung. Sang pendekar pun menerimanya. Esoknya, dia mohon pamit kepada sang guru.
Para Pembaca Yang Budiman,
Ketika merasa ilmu kita cukup. Maka kita dengan berani ingin masuk kedunia sebenarnya yang kita impikan. Baik itu di dunia kerja maupun dunia bisnis. Memang baik mengamalkan ilmu kita. Sesuai dengan orang bijak pernah mengatakan,” Menuntut ilmu hingga memasuki liang kubur adalah proses yang bagus, tetapi jangan lupa bahwa ilmu yang sudah dituntut itu masih perlu dipraktekkan ”. Bila tidak, untuk apa menuntut ilmu ? Pengetahuan tidak bisa berdiri sendiri, ia harus ditindaklanjuti dengan praktek, dengan sikap mental yang benar.
Dalam kehidupan seperti cerita diatas. Ada tiga batu ujian yang harus kita lewati.
Batu ujian pertama adalah kesulitan.
Baik kesulitan secara keuangan, hubungan kerja, kurangnya pengalaman. Dan bermacam-macam kesulitan yang lain. Ternyata ujian kesulitan ini adalah ujian pertama kita. Tentu ada ingat ketika daerah Aceh dihantam tsunami. Begitu banyak kesulitan yang datang baik secara mental dan materi. Tapi lewat proses selama ini cukup banyak. Masyarakat Aceh yang mulai bangkit. Mereka mencoba berdagang kembali. Menata perekonomian keluarga mereka yang sudah hancur. Walaupun hasilnya masih sedikit minimal mereka sudah mencoba untuk bangkit adalah jauh lebih penting.
Apabila kita berhasil melewati ujian ini maka mental kita menjadi lebih berani, lebih disiplin, lebih komitmen, lebih ulet, lebih optimis dan lebih kreatif.
Batu ujian kedua adalah kesetiaan.
Manusia pada umumnya dengan sangat mudah bisa melewati kesulitan mereka. Harta pun mulai berlimpah. Dulu dari tidak punya rumah, sekarang rumah mewahpun sudah bisa dibeli. Dulu mobilpun susah sekali didapat. Sekarang di garasi rumah sudah tersedia tiga mobil yang siap mengantar kemanapun kita pergi. Tapi manusia sering tergelincir melewati ujian kedua ini. Ketika harta berlimpah. Mata kita pun mulai disilaukan dengan kehidupan duniawi. Istri yang dulu lengket sekali. Sehingga nyamuk paling kuruspun susah lewat. Kalaupun belanja sang suami dengan enak di depan berjalan sendirian. Badan istripun yang dulu kutilang dara. Sekarang sudah dipandang bapindo (bagian pinggang dobel). Sambil membawa belanjaan di tangan kiri-kanan yang berat-berat pula. Sehingga gajah paling gemuk pun gampang lewat. Lama-kelamaan cintapun sering menjadi pudar. Mulai mata bermain-main. Melihat keindahan cewek-cewek yang berpakaian seksi. Sesuai dengan peribahasa,”Dari mata turun ke hati”. Akhirnya kita pun mulai tidak setia dengan istri dan anak-anak kandung sendiri. Dulu semboyan kita ”Family is my love”, sekarang pun diubah menjadi ”Family is my memory”.
Fase ini adalah fase yang berat dan paling penting. Disinilah mental kita benar-benar diuji. Apakah kita masih setia sama istri, keluarga, sahabat, orang tua? Hanya waktu jualah yang bisa menentukan kita. Tetapi dengan menyadari bahwa hidup itu tidak hanya bisa berdiri diatas satu kaki. Kita harus butuh pasangan. Sebagai teman seperjuangan dalam suka dan duka.
Bila kita berhasil melewati ujian ini, maka rasa cinta bukan hanya sebatas perasaan saja. Tapi sudah menerima satu sama lain sebagai bagian yang tidak pernah terpisahkan. Bahkan kita rela mengorbankan jiwa bagi keluarga yang kita cintain. Seperti Romero dan Juliet nih.
Batu ujian ketiga adalah beryukur.
Bila anda pernah melihat film The Secret. Tentu anda tahu ada batu bersyukur. Dimana mengingatkan kita bahwa semua hidup ini harus kita syukurin. Dalam cerita diataspun digambarkan bagaimana pendekar harus berdiri dengan satu tangan. Dan posisi terbalik. Artinya kita harus tunduk kepada Tuhan. Kita ini masih begitu kecil dibandingkan Sang Pendipta. Bila sewaktu-waktu kita dipangil olehNya. Kita pun harus siap. Mulai dari sekarang syukurin yang sudah kita dapat. Tidak peduli besar atau kecil. Banyak atau sedikit. Dengan bersyukur membuat hidup kita menjadi lebih nyaman dan damai. Kita pun rela memberi kepada yang membutuhkan. Tidak hanya dalam bentuk materi. Tapi dalam bentuk kasih sayang, nasehat dan perhatian.
Tiga batu ujian sudah ada di tangan anda sekarang. Siapkah diri anda menjalaninya ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar